Selasa, 13 Juli 2010

Solusi Islam


ISLAM SEBAGAI ALTERNATIF
Ketika diturunkan dalam konteks zamannya, Islam pada dasarnya merupakan
gerakan spiritual, moral, budaya, politik, serta sistem ekonomi alternatif. Tentu saja,
alternatif terhadap sistem dan budaya Arab yang waktu itu tengah mengalami pembusukan
dan proses dehumanisasi. Selain itu Islam juga lahir sebagai jalan pembebasan dan
kemanusiaan dari dua kekuatan global zamannya, yakni kekuasaan Romawi di Barat dan
Bizantium di Timur.
Namun, semangat alternatif lslam ini tak bertahan lama, seperti ditunjukkan dalam perjalanan sejarah. la mengalami pasang-surut sampai akhirnya sulit mempertahankan watak sebagai gerakan altematif. Masyarakat Islam justru kini menjadi pihak yang disoroti oleh setiap orang, saat membicarakan proses dehumanisasi, ketidakadilan gender, pandangan intoleran, dan sebagainya.
Islam tiba-tiba kehilangan citra diri sebagai pewaris gerakan pembebasan dan penegak keadilan, apalagi gerakan altematif terhadap sistem dan ideologi dehumanisasi masa lalu. Pertanyaannya kemudian, apakah Islam akan dapat mempertahankan citra dan visi spiritual sebagai penebar rahmat, yakni menjadi pembebas bagi kaum tertindas, pembebas manusia dari segala bentuk alienasi?
Apakah Islam mampu menjadi jalan alternatif manusia untuk lepas dari berbagai jeratan ketidakadilan yang dewasa ini semakin mengganas? Apakah Islam mampu melawan gurita ideologi neoliberalisme, marginalisasi politik ekonomi dan peminggiran budaya rakyat
akibat jeratan kapitalisme global dewasa ini?
Umat Islam dewasa ini memang memerlukan perenungan kembali atas ajaran moral, teologi, doktrin sosial, politik, dan ekonomi yang dulu pernah menjadi jawaban dan alternatif terhadap persoalan dehumanisasi di zamannya. Dewasa ini, umat manusia dan juga umat Islam di Indonesia dihadapkan pada serangan atau invasi yang terberat dalam sejarah perjalanannya. Mendengar itu, asosiasi kita segera tertuju pada ancaman yang bersifat praktis, yakni tertimpa dampak negatif akibat wacana dominan yang agresif, seperti perang melawan terorisme atau problem Palestina yang meneror hati nurani kita sebagai manusia.
Tapi, bentuk ancaman kemanusiaan yang sebenarnya mengancam umat manusia adalah menguatnya sistem ekonomi dan politik neoliberalisme dalam era yang disebut sebagai globalisasi modal ini. Nampaknya, ancaman globalisasi kapital yang berupa menguatnya paham ekonomi dan politik kapitalisme global yang berwatak 'persaingan bebas' merupakan kembalinya paham kolonialisme dan imperialisme yang sudah lama mati, dan bahkan merupakan kembalinya 'ideologi jahiliah' yang membawa bencana dehumanisasi dan alienasi manusia yang dulu pernah dihentikan oleh Islam.
Bagaimana, respon pemikiran Islam terhadap menguatnya kapitalisme global aliran neoliberalisme saat ini? Siapapun akan mengalami kcsulitan memahami reaksi golongan Islam dalam hal ini. Hal ini justru karena apa yang dimaksud sebagai golongan Islam atau pemikiran Islam, bahkan teologi Islam, tidaklah tunggal. Pemikiran Islam dalam kenyataannya terdiri atas berbagai aliran dan masing-masing aliran telah melahirkan berbagai paradigma, doktrin, serta keyakinan masing-masing dalam merespon fenomena menguatnya sistem kapitalisme neoliberal yang berwatak global tersebut.
Oleh karena itu, apa jawaban teoretik, sikap teologis, maupun analisis teoretik umat Islam terhadap proses neokolonialisme dan kembalinya liberalisme ini sangat bergantung dari teologi dan paradigma pemikiran Islam masing-masing. Karena memang sesungguhnya Islam, dari aspek teologi, paradigma, maupun teori sosial adalah agama yang plural, dan karenanya, sangatlah mustahil direduksi dan digolongkan menjadi satu golongan saja.
Untuk itu, terlebih dahulu di sini diperlukan suatu peta dasar tentang ideologipemikiran Islam.Secara kasar, Islam di Indonesia dapat dibagi ke dalam beberapa paradigma ideologi tentang bagaimana mereka memahami kemiskinan dan globalisasi. Banyak studi telah dilakukan untuk menjelaskan Islam di Indonesia yang hasilnya sering tidak memuaskan untuk memahami Islam di Indonesia dalam konteks globalisasi, sebagai bentuk
perkembangan kapitalisme mutakhir ini. Misalnya, tipologi kultural keagamaan yang dibuat oleh Clifford Geertz, yakni 'priyayi', 'santri', dan 'abangan', perlu dimodifikasi karena kategori priyayi tidaklah dapat diletakkan dalam kategori santri dan abangan. Priyayi adalah kelas sosial yang lawannya adalah 'wong cilik' atau proletar.
Oleh karena itu, baik pada golongan santri dan abangan terdapat priyayi (elit) dan wong cilik (proletar),sementara santri dan abangan adalah dikotomi yang mengacu pada ketaatan beragama atau ekspresi keagamaan. Oleh karenanya, dalam uraian ini saya menghindari peta
penggolongan ini, mengingat batasan penggolongan santri, abangan, dan priyayi menjadi
semakin kabur.
Ternyata, telah terjadi perubahan yang cukup substansial dalam perjalanan sejarah golongan Islam di Jawa, dimana kita sulit untuk menggunakan definisi santri dan abangan seperti pada tahun 50-an. Oleh karena itu, di sini saya akan menggunakan model pembagian paradigmatik, yakni kategori ideologi keagamaan.
Dengan alasan seperti dikemukakan di atas, maka perlu dicari peta pembagian
golongan Islam yang sesuai dengan formasi sosial kapitalisme yang berkembang. Untuk
itu, saya mencoba mengembangkan penggolongan yang saya adaptasi berdasarkan ideologi
golongan Islam dalam merespon kemiskinan. Dengan pendekatan ini, secara kasar golongan Islam dapat dibagi ke dalam empat paradigma yakni paradigma tradisionalis, modernis, reuivalist, dan transformatif. Kategori ini bersifat ideologis dan bukan organisatoris. Oleh karena itu, kategori ini sekaligus menolak kategori lama, bahwa umat Islam hanya dibagi menjadi dua kubu, dikotomi Muhammadiyah-NU. Oleh karena itu, dalam organisasi Islam seperti NU atau Muhammadiyah, kita menjumpai keempat pemikiran ideologis tersebut terwakili, sehingga kita mengalami orang NU yang liberal, orang NU yang fundamentalis, bahkan orang NU yang menganut 'kiri Islam'. Sebaliknya, ada juga orang Muhammdiyah yang tradisionalis maupun yang transformatif.
kita melihat keempat paradigma tersebut terdapat pada setiap organisasi Islam. Keempat ideologi tersebut bahkan memiliki pesantren mereka masing-masing, atau ada satu pesantren yang berisikan empat ideologi tersebut. Tidak heran di setiap organisasi Islam seperti Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), HMI, Ansor, atau PMII masing-masing memiliki
tokoh dari setiap ideologi tersebut, yakni ada tokoh PMII fundamentalis, ada tokoh PMII
modernis dan liberal, ada juga tokoh PMII yang transformatif. Pada saat bagaimana mereka
masing-masing merespon kemiskinan dan globalisasi, sesungguhnya keempat ideologi yang mengambil paradigma tradisionalis, modernis, revivalist, dan transformatif inilah yang
berbicara.
Berikut secara ringkas, pendirian umum, kasar, dan bersifat preliminary dari masing-masing paradigma tersebut.
Paradigma Tradisionalis tentang Kapitalisme Global
Pemikiran tradisionalis percaya bahwa permasalahan kemiskinan umat pada hakikatnya adalah ketentuan dan rencana Tuhan. Hanya Tuhan yang maha tahu apa arti dan hikmah di balik ketentuan tersebut. Makhluk, termasuk umat Islam, tidak tahu tentang gambaran besar skenario Tuhan akan perjalanan panjang umat manusia.
Masalah kemiskinan dan marginalisasi tidak jelas kaitannya dengan globalisasi dan neo-liberalisme.
Kemiskinan dan marginalisasi seringkali justru adalah 'ujian' atas keimanan, dan kita tidak tahu manfaat dan mudaratnya, atau malapetaka apa di balik kemajuan dan pertumbuhan serta globalisasi bagi umat manusia dan lingkungan kelak. Akar teologis paradigma ini bersandar pada konsep Sunni mengenai predeterminism (takdir), yakni ketentuan dan rencana Tuhan jauh sebelum diciptakan alam. Dari teologi Sunni, terutama aliran Asy'ariah, manusia memang tidak memiliki free will untuk menciptakan sejarah mereka sendiri. Meskipun manusia didorong untuk berusaha, akhimya Tuhan jualah yang
menentukan.
Banyak orang menduga mayoritas pemikiran tradisionalis ini berada di pesantren dan
di kalangan umat Islam pedesaan, ataupun sering diasosiasikan dengan pengikut NU.
Padahal, pemikiran tradisionalis sesungguhnya ada di mana-mana, di pedesaan maupun urban, masyarakat awam atau kalangan cendikia, bahkan di setiap organisasi Islam, tak
terkecuali di golongan yang dikategorikan modernis seperti Muhammadiyah. Banyak dari
mereka yang dalam sektor kehidupan sehari-hari menjalani kehidupan yang sangat modern
dan mengasosiasikan diri dengan golongan modernis, namun ketika kembali pada
persoalan teologi dan kaitannya dengan usaha manusia, mereka sesungguhnya lebih layak
dikategorikan sebagai golongan tradisionalis. Proses globalisasi yang mendasarkan keyakinan mereka pada paham neo-liberalisme dan 'modernisasi' tersebut menempatkan pemikiran paradigma tradisionalis menjadi sasaran untuk ditundukkan. Kaum modernis menargetkan pemikiran tradisionalis menjadi objek utama untuk dimodernisasikan, baikmelalui aturan negara maupun melalui hegemoni kultural.
Terdapat indikasi adanya perendahan secara kultural (cultural harassment) yang dilakukan secara sistematis selama ini terhadap kaum tradisionalis. Ini menjadikan kaum tradisionalis semakin termarginalisasi.
Akibatnya, memang semakin sulit menjadi tradisionalis di Indonesia. Kekuatan kaum
tradisionalis seperti pesantren yang berada di pedesaan sekarang dihadapkan pada masa
transisi menuju modernisasi. Hampir tidak ada strategi dari kaum tradisionalis untuk
melakukan resistensi terhadap modernisasi maupun neo-liberalisme. Hancumya paradigma tradisionalis, sesungguhnya memberikan jalan yang lapang bagi globalisasi kapitalisme untuk menerobos pedesaan. Itulah mengapa resistensi pedesaan terhadap globalisasi hampir tidak terdengar atau tidak sekeras ketika awal modernisasi dan pembangunan masuk di pedesaan pada awal 70-an di Indonesia. Akan tetapi, dewasa ini dikalangan petani pedesaan mulai tumbuh gerakan resistensi melawan globalisasi. Ini menunjukkan adanya pergeseran dari kaum tradisional yang tertindas selama ini kemasyarakat yang bangkit kesadaran kritisnya. Ada tendensi kuat golongan yang dulunya dikategorikan sebagai golongan tradisionalis, terutama generasi muda dan para petani miskin, ketika melihat penindasan dan pencurian struktural atas sumber daya alam mereka sebagai implikasi dari globalisasi kapitalisme saat ini, justru menggunakan analisis kritis dalam memahami berbagai persoalan kemiskinan.
Perspektif Paradigma Modernis atau Islam Liberal Terhadap Kapitalisme Liberal
Pemikiran kaum modernis dan muslim liberal tentang kemiskinan dan
keterbelakangan, pada dasarnya sepaham dengan pikiran modernisasi sekuler. Mereka
percaya bahwa masalah yang dihadapi kaum miskin pada dasamya berakar pada persoalan
'karena ada yang salah dari sikap mental, budaya, ataupun teologi mereka'. Kemiskinan
umat Islam bagi mereka tidak ada sangkut-pautnya dengan menguatnya paham
neoliberalisme maupun globalisasi. Jika perlu, kita harus siapkan umat Islam menjadi
liberal supaya bisa bersaing dalam globalisasi. Mereka menyerang teologi Sunni yang
dijuluki teologi fatalistik sebagai akar penyebabnya. Pandangan kaum modernis berakar
pada pemikiran para reformis yakni seperti Muhammad Abduh di Mesir atau Mustafa
Attaturk di Turki serta banyak para pembaharu lainnya. Di Indonesia, teologi rasionalis ini
pernah mempengaruhi gerakan Muhammadiyah sebelum Perang Dunia II.
Agenda sentral gerakan Muhammadiyah pada dasarnya adalah 'berperang' melawan
bid'ah dan khurafat, serta 'berlomba dalam kebaikan'. Oleh sebab itu, mereka juga dikenal
sebagai gerakan purifikasi. Gelombang kedua gerakan pembaharuan muncul pada awal
Orde Baru. Kaum modernis (atau kaum pembaharu) ini memfokuskan peperangan
melawan siapa saja yang merintangi modernisasi dan pembangunan, melalui agenda
sekularisasi. Asumsi dasar mereka adalah bahwa keterbela-kangan umat karena umat
Islam melakukan sakralisasi terhadap semua aspek kehidupan. Penganut paradigma
modernisasi ada di mana-mana, tidak hanya di kalangan Muhammadiyah, di kalangan NU
pun ada.
Kaum modernis sesungguhnya memiliki pendekatan dan analisis yang sama dengan
penganut paham modernisasi sekuler yang menjadi aliran mainstream dalam ilmu sosial dan
yang dianut oleh aparatur developmentalism . Bagi mereka, kemiskinan terjadi pada bangsa
Indonesia karena mereka tidak mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses
pembangunan dan globalisasi. Oleh karena itu, mereka cenderung melihat nilai-nilai
(values) sikap mental, kreativitas, budaya, dan paham teologi sebagai pokok permasalahan,
dan tidak melihat struktur kelas, gender, dan sosial sebagai pembentuk nasib masyarakat.
Bagi mereka, umat harus berpartisipasi dan mampu bersaing dalam proses industrialisasi
dan globalisasi serta proses pembangunan. Untuk itu, diperlukan pembongkaran beberapa
hal, di antaranya adalah kaum miskin haruslah berani untuk mengganti teologi yang cocok
dengan developmentalism, yakni teologi rasional dan kreatif. Selanjutnya, diperlukan
persiapan sumber daya manusia yang cocok dengan globalisasi, yakni melalui usaha
pendidikan, terutama dengan menciptakan sekolah unggulan. Mereka tidak
mempersoalkan globalisasi dan pembangunan itu sendiri, sepanjang pembangunan
diterapkan melalui pendekatan dan metodologi yang benar, serta dikelola oleh suatu
pemerintahan yang bersih (clean government). Sehingga ada indikasi bahwa kaum
modernis sesungguhnya secara konseptual tidak ada masalah dengan globalisasi
kapitalisme. Permasalahan globalisasi bagi mereka lebih pada sejauh mana mereka mampu
menyiapkan sumber daya manusia yang cocok dan dapat bersaing di dalam sistem pasar
bebas tersebut. Mereka inilah kelompok Islam yang dominan, menguasai media massa,
pemerintahan, pendidikan, dan bahkan perguruan tinggi Islam. Menghadapi tantangan
globalisasi kapitalisme dan menguatnya neo-liberalisme tersebut, para intelektual Islam
liberal ini justru sibuk untuk menggali ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan modernisasi
dan liberalisme, melakukan pembongkaran dan melakukan penafsiran ulang atas ajaranajaran
agama yang dinilai tidak sesuai dengan zaman, tanpa mempersoalkan secara
mendasar masalah yang diakibatkan oleh paham neoliberalisme tersebut. Dengan strategi
kaum modernis, 'penyiapan SDM dan pembaharuan ajaran Islam yang cocok' untuk
menyongsong globalisasi seperti itu, menimbulkan kesan yang kuat, bahwa kaum liberal
dan modernis dalam melihat masalah proses marginalisasi akibat globalisasi kapitalisme ini
lebih cenderung 'menyalahkan korbannya'.

Tantangan Kaum Revivalist atau Fundamentalis Terhadap Globalisasi
Paradigma ketiga adalah penganut paham atau paradigma revivalis . Mereka yang
sering dilabeli dengan istilah 'fundamentalisme' ini, melihat baik faktor ke dalam (internal)
maupun keluar (external) sebagai akar penyebab persoalan kemiskinan dan kemunduran
umat Islam. Mengapa umat Islam miskin, bagi mereka adalah lebih disebabkan karena
semakin banyaknya umat Islam yang justru memakai ideologi lain atau 'isme' lain sebagai
dasar pijakan ketimbang menggunakan al-Qur'an sebagai acuan dasar. Pandangan ini
berangkat berdasarkan keyakinan bahwa Al-Qur'an pada dasarnya telah menyediakan
petunjuk secara komplet, jelas, dan sempurna sebagai pondasi bermasyarakat dan
bernegara. Ditambahkan, jika umat Islam percaya bahwa alam beserta manusia adalah
ciptaan Tuhan Allah, maka aturan yang paling sempurna untuk mengatur kehidupan
manusia adalah aturan Tuhan Allah. Dan oleh karena hakikat Al-Qur'an pada dasarnya
berisi ketentuan dan jalan Tuhan, maka tidak ada pilihan lain selain kembali ke jalan Al-
Qur'an sebagai pondasi 'social governance'. Selain itu, mereka juga melihat agama serta 'isme'
yang lain sebagai ancaman. Apa yang dimaksudkan sebagai ancaman umat Islam adalah
berbagai 'isme', termasuk Marxisme, kapitalisme, zionisme, serta paham dan ideologi non
Islam lainnya.
Globalisasi dan kapitalisme adalah salah satu agenda Barat dan konsep non Islami
yang dipaksakan pada masyarakat muslim. Meskipun tidak menggunakan analisis politik
ekonomi kelas mereka menolak kapitalisme dan globalisasi, termasuk di dalamnya
liberalisme. Itulah makanya kaum revivalist atau yang lebih dikenal sebagai kaum
fundamentalis sejak lama dipinggirkan oleh aparatur developmentalism dan globalisasi,
dan dianggap sebagai salah satu ancaman terpenting kapitalisme di masa mendatang.
Penghancuran terhadap gagasan mereka telah lama dilakukan baik melalui koersi maupun
penjinakan. Setelah dilabeli 'fundamentalis' yang 'melawan pembangunan dan demokrasi'
aparatur pembangunan merasa memiliki legitimasi untuk menumpas gagasan kaum
revivalist, meskipun dengan jalan kekerasan.
Kaum revivalist selama ini telah menemukan cara yang tepat untuk melakukan
resistensi terhadap yang menekan mereka yakni para pendukung modernisasi dan
globalisasi kapitalisme. Mereka menerbitkan buku, mengorganisasi kelompok diskusi
militan di kalangan mahasiswa, menciptakan simbol resistensi termasuk dalam cara
berpakaian, bahkan mencoba menciptakan proyek percontohan sistem kemasyarakatan
dan sistem ekonomi tertutup yang merupakan suatu gagasan altematif terhadap kapitalisme. Ada indikasi pengaruh gerakan ini berkembang secara pesat tidak saja dalam
bentuk kelompok-kelompok pengajian mahasiswa di masjid kampus, melainkan juga
banyak berkembang di berbagai pesantren tradisional. Bahkan, terdapat indikasi kuatnya
pengaruh pemikiran golongan revivalist pada berbagai organisasi kaum modernis
termasuk Muhammadiyah, HMI, maupun ICMI.
Strategi Teologi Transformatif Islam Kiri
Paradigma transformatif adalah pikiran alternatif terhadap ketiga paradigma di atas.
Mereka percaya bahwa kemiskinan rakyat, termasuk kaum muslim disebabkan oleh
ketidakadilan sistem dan struktur ekonomi, politik, dan kultur. Oleh karena itu agenda
mereka adalah melakukan transformasi terhadap struktur melalui penciptaan relasi yang
secara fundamental baru dan lebih adil dalam bidang ekonomi, politik, dan kultur. Ini
adalah proses panjang penciptaan ekonomi yang tidak eksploitatif, politik tanpa represi,
kultur tanpa dominasi dan hegemoni, serta penghormatan terhadap HAM (human rights).
Keadilan menjadi prinsip fundamental dari paradigma ini. Fokus kerja mereka adalah
selain mencari akar teologi, metodologi, dan aksi yang memungkinkan terjadinya
transformasi sosial. Pemihakan terhadap kaum miskin dan tertindas (duafa) tidak hanya
diilhami oleh Al-Qur'an, tetapi juga hasil analisis kritis terhadap struktur yang ada. Islam
bagi mereka dipahami sebagai agama pembebasan bagi yang tertindas, serta
mentransformasikan sistem eksploitasi menjadi sistem yang adil .
Globalisasi, serta berbagai proyek kapitalisme yang lain bagi golongan ini menjadi
salah satu penyebab yang memiskinkan, memarginalisasi, dan meng-alienasi masyarakat.
Selain melalui usaha praktis untuk membantu memecahkan persoalan ekonomi, politik,
dan budaya keseharian melalui proyek-proyek pengembangan ekonomi yang berbasis
masyarakat, juga usaha praktis tersebut dikaitkan dengan melakukan advokasi untuk
mempengaruhi segenap kebijakan negara yang memarginalkan kaum miskin dan
pinggiran. Oleh karena itu, bagi mereka pengembangan masyarakat selalu berdimensi
politik. Globalisasi justru bagi golongan ini secara fundamental adalah ancaman bagi
orang miskin. Selain agenda globalisasi lebih memihak kepada TNCs (Trans National
Corporations) untuk kepentingan akumulasi kapital berskala global, juga akan
menghancurkan lingkungan hidup, menghancurkan segenap budaya sosial yang dengan
mana kehidupan masyarakat tergantung. Terdapat indikasi bahwa konsentrasi golongan
dan paradigma transformatif berada di kalangan ornop di Indonesia, termasuk gerakan
kaum perempuan baik di universitas, kaum 'muda' progresif, serta sejumlah intelektual baik di kalangan NU dan Muhammadiyah.
Golongan Islam transformatif atau yang dilabeli sebagai golongan Islam kiri ini sering
disingkirkan oleh golongan Islam lain, bahkan sering dianggap 'di luar' Islam. Oleh karena
itu, kelompok transformatif perlu merekonstruksi teologi mereka dan
mensosialisasikannya pada umat Islam luas. Umat Islam, terutama kelompok miskin
tertindas, di era Globalisasi kapitalisme akan menghadapi gelombang pemiskinan
struktural yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Kalau begitu, golongan muslim
miskin itu membutuhkan teologi, paradigma, dan analisis sosial yang memihak pada
mereka, itulah teologi bagi kaum tertindas, teologi yang membebaskan mereka dari
ketertindasan dan eksploitasi global.
Kita Butuh Ruang Refleksi Bersama
Wahai kaum tertindas bersatu-padulah untuk resistensi terhadap proses dehumanisasi
ini. Apakah Islam bisa menjadi kendaraan resistensi seperti dikisahkan beberapa abad yang
lampu? Kini Islam tidak berwajah tunggal, berbagai firkah itu membuat reaksi umat Islam
terhadap kapitalisme global juga semakin plural, bergantung pada bagaimana mereka
melakukan analisis sosial dan struktural terhadap problem dehumanisasi. Globalisasi
sebagai suatu formasi sosial di masa mendatang sesungguhnya lebih merupakan ancaman
ketimbang sebagai kesempatan bagi golongan miskin dan kaum marginal. Namun
demikian globalisasi dan kapitalisme dalam bentuknya sebagai ideologi pertumbuhan
ekonomi sesungguhnya memerlukan legitimasi dukungan massa. Bagi negara yang
mayoritas Islam, legitimasi dari Islam menjadi sangat strategis bagi lancamya globalisasi.
Salah satu yang memiliki potensi besar untuk mendukung globalisasi adalah golongan
Islam yang juga menganut paham liberal. Makanya, golongan modernis dianggap memiliki
potensi untuk menjadi media legitimasi terhadap globalisasi. Sementara golongan
tradisionalis dan revivalist atau fundamentalis sesungguhnya memiliki potensi besar untuk
menjadi resistensi terhadap globalisasi. Oleh karena itu, kedua golongan ini strategis bagi
mereka yang menghendaki pengentasan kemiskinan melalui transformasi struktural, serta
sistem ekonomi, politik, dan budaya yang memungkinkan terjadinya proses demokratisasi
ekonomi.
Selebihnya, agenda pengentasan kemiskinan struktural, pada dasarnya tidaklah berdiri
sendiri dan terisolasi dari aspek lainnya seperti politik dan budaya. Paradigma
transformatif sesungguhnya memiliki potensi untuk menemukan jawaban atas persoalan
kemiskinan struktural dan problem yang akan ditimbulkan oleh globalisasi dibandingkan
golongan revivalist maupun tradisionalis. Akan tetapi, kesempatan tersebut sangat
tergantung pada sejauh mana mereka mampu membangun teologi bagi kaum tertindas.
Teologi yang membebaskan ini perlu dikembangkan untuk menjadi landasan bagi
paradigma dan teori sosial yang mampu melakukan resistensi terhadap globalisasi. Teologi
untuk kaum tertindas tersebut diperlukan segera mengingat kaum miskin marginal perlu
membangun gerakan sosial (social movements) untuk melindungi diri terhadap invasi
globalisasi. Gerakan sosial kaum miskin tersebut selanjutnya perlu merebut ruang
demokrasi di Indonesia untuk melakukan resistensi terhadap globalisasi. Kesempatan itu
sesungguhnya ada pada globalisasi sendiri. Di satu pihak, globalisasi berpotensi untuk
memarginalkan kaum miskin, namun di pihak lain akan melahirkan kesempatan
demokratisasi, karena terdapat tendensi semakin terbukanya komunikasi secara global
yang akan menuntut semakin terbuka, transparan, serta demokratisnya Indonesia. Selain
itu juga, tuntutan masyarakat sipil secara global terhadap proses demokratisasi dan
penghargaan atas HAM juga semakin tinggi. Keterbukaan tersebut juga memungkinkan
paradigma masing-masing membuktikan ketepatan analisis mereka terhadap penyebab
kemiskinan, globalisasi, dan agenda untuk memecahkan kemiskinan.
Akhirnya, mudah-mudahan tulisan ini dapat memicu tumbuhnya refleksi kritis umat
Islam untuk merespon globalisasi kapital. Kaum miskin dari kalangan umat Islam maupun
lainnya, saat ini membutuhkan perisai dan pelindung yang tidak saja mampu
mengentaskan kemiskinan secara struktural tetapi juga yang memberi ruang untuk
resistensi agar tercipta dunia yang lebih adil dan damai. Orang berharap salah satu potensi
tersebut terdapat pada golongan dan pemikiran kaum transformatif. Akan tetapi golongan
ini memiliki tantangan yang besar, karena belum mampu menemukan legitimasi teologis
yang mampu mendapat dukungan dari massa. Merekalah saat ini yang diharapkan akan
mampu menciptakan ruang dalam proses demokratisasi ekonomi, politik, dan budaya di
Indonesia. Akan tetapi, problemnya adalah golongan Islam kiri ini terlalu kecil, bersifat
elitis, dan ada kecenderungan teralienasi dari masyarakat muslim miskin dan tertindas.
Tantangan lainnya adalah paradigma dominan penganut globalisasi neo-liberalisme
tersebut kini berhasil menundukkan pemerintah dan negara, melalui infiltrasi neoliberalisme
yang hakikatnya internalisasi gagasan pasar bebas terhadap seluruh kebijakan
negara, sehingga ia mampu memaksa negara menjadi pelindung mereka. Artinya, agenda
pengentasan kemiskinan struktural sejauh mungkin harus dapat menghindari untuk
disalahpahami, yakni dikaburkan sebagai ancaman terhadap agenda politik praktis
pengusaha untuk mempertahankan status quo.

Senin, 12 Juli 2010

" POLA PENDIDIKAN PON-PES UUMUL QUR'AN MIFTAHUL - FALAH "

A.DASAR PEMIKIRAN
Barang siapa menginginkan dunia taklukanlah ia dengan ilmu,barang siapa menginginkan akhirat capailah ia dengan ilmu,barang siapa menginginkan keduanya rangkulah dengan ilmu,demikian pesan dari al-alim dzat yang maha berilmu,untuk hambanya,melalui lisan shadiqul wa’dil amin,pembenar janji yang terpercaya,nabi muhamad s.a.w.
Pengetahuan adalah unsur robaniyyah[ketuhanan], yang dititipkan untuk memuliakan umat manusia di atas sekalian ciptaanya.Pengetahuan ini pula yang menyungkurkan dahi para malaikat keatas tanah,di hadapan nabi adam a.s ,atas perintah allah s.w.t.
Sejarah telah membuktikan,betapa keagungan suatu masa terukur dari bertaburnya mutiara-mutiara ilmu dan hikmah yang menerangi zaman tersebut.dan sejarah pula yang telah menorehkan sebuah kausa dengan tinta emas,bahwa keharuman nama orang yang jiwanya di pusakai dengan ke arifan sejati akan abadi mengiringi perputaran masa.Gurat panjang garis peradaban manusia pernah di warnai oleh jejak-jejak gemilang para arifin,orang-orang arif pencetak sejarah.Terbilang,Nabi idris manusia yang pertama menjahit pakain,Nabi ibrahim,bapak bagi para pencari kesejatian,Nabi sulaiman yang dikepalanya terletak mahkota tiga dunia,manusia,jin dan binatang,Nabi musa,isa dan muhamad,ialah peletak dasar teologi manusia modern,panggung dunia juga pernah di semarakan oleh gempita jalaluddin assuyuti,muhyidin an-nawawi sulaiman ibnu umar al-ajili,Dr.Abdulkarim Amrullah,Syekh ali al-maliki Prof. Qurays sihab mereka sebagai ahli tafsir (mufassirin) dan penulis tafsir yang merupakan karya ilmiah.
Al-Qur’anul karim merupakan kitab allah s.w.t. yang di turunkan kepada Nabi Muhamad s.a.w. yang mengandung hal-hal tentang keimanan,ilmu pengetahuan,history,filsafat peraturan peraturan yang mengatur tingkah laku dan tatacara hidup manusia,baik sebagai makhluk individu ataupun sebagai makhluk sosial,sehingga.Al-Qur’anul karim dalam menerangkan hal hal diatas ada yang di kemukakan secara tafsil[terperinci],seperti yang berhubungan dengan hukum perkawinan,warisan dan sebagainya,dan adapula yang dikemukakan secara global[umum]dan garis besarnya saja,yang di terangkan secara global[umum]ini ada yang di perinci dan di jelaskan oleh hadist-hadist nabi muhamad s.a.w. dan ada yang di serahkan terhadap kaum muslimin sendiri untuk memperincinya sesuai dengan keperluan suatu klompok manusia,keadaan masa dan tempat,seperti dalam soal ketatanegaraan.
Disamping itu agama islam membuka pintu ijtihad bagi kaum muslimin dalam hal yang tidak diterangkan oleh al-Qur’an dan hadist secara Qoth’i(pasti),pembukaan pintu ijtihad inilah yang memungkinkan manusia memberi komentar,keterangan dan mengeluarkan pendapat tentang hal hal yang tidak disebut atau yang masih global.Rosululloh s.a.w. beserta sahabat-sahabatnya yang menjadi pelopor dalam hal ini,kemudian diikuti oleh tabi’ien para tabi’it tabien dan generasi yang hidup dan tumbuh pada masa berikutnya.
Memang pada masa Rosululloh s.a.w. kebutuhan tentang tafsir al-Qur’an belumlah begitu di rasakan,sebab bila sahabat tidak atau kurang memahami suatu ayat al-Qur’an,mereka dapat langsung menanyakan kepada rosululloh s.a.w. dalam hal ini rosululloh s.a.w. selalu memberikan jawaban yang memuaskan,namun setelah rosululloh meninggal,apa lagi setelah agama islam melebarkan sayapnya keluar dari jazirah arab dan memasuki daerah daerah yang berkebudayaan lama,terjadilah persinggungan antara agama islam yang masih dalam bentuk kesederhanaanya di satu pihak,dengan kebudayaan lama yang telah mempunyai pengalaman

perkembangan serta keuletan daya juang di pihak lain,disamping itu kaum muslimin sendiri menghadapi persoalan baru,persoalan baru itu akan dapat di pecahkan apabila ayat al-Qur’an ditafsirkan dan diberi komentar untuk menjawab persoalan yang baru timbul,maka tampillah kemuka beberapa sahabat,tabien serta tbi’iet-tabien untuk memberanikan diri menafsirkan ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum
batas lapangan berijtihad bagi kaum muslimin.demikianlah tiap-tiap generasi berlainan dan hampir tidak sama dengan kebutuhan generasi yang lain
Begitu pula halnya tafsir al-Qur’anul karim,ia berkembang mengikuti irama perkembangan masa dan memenuhi kebutuhan manusia dalam suatu generasi,tiap-tiap masa dan generasi menghasilkan tafsir-tafsir al-Qur’an yang sesuai dengan kebutuhan dan keperluan generasi itu
dengan tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama islam sendiri.Dalam pada itu ilmu tafsir sendiri yang dahulu merupakan bahagian dari ilmu hadist yang telah berkembang -
bersama dengan ilmu-ilmu yang lain,maka di dalam ilmu tafsir terdapat pula aliran-aliran dan perbedaan pendapat yang timbul karena perbedaan pandangan dan segi meninjauanya,sehingga sampai saat ini terdapat puluhan,bahkan ratusan kitab-kitab tafsir dari pelbagai aliran,sebagai hasil karya dari generasi-generasi yang sebelumnya.
Melalui tafsir-tafsir itulah para santri[murid]Miftahul Falah bisa mengetahui kandungan al-Qur’an, baik yang tersurat maupun yang tersirat ,disamping itu pula santri[murid]PP.Miftahul-falah kelak dikemudian hari akan mampu meng aktualisasikan serta menggali apa yang terdapat dalam al-Qur’an itu,dan juga siap menjadi tongkat estafet bagi mufasirin yang telah tiada,seperti apa yang telah dikemukakan diatas,bahwasanya kebutuhan tiap –tiap generasi tidaklah sama dengan generasi yang lain ,sehingga al-Qur’an benar-benar menjadi pedoman hidup bagi kaum muslimin.Namun kitab –kitab tersebutlah yang masih menjadi kelemahan bagi pon-pes Miftahul-Falah,Untuk itulah kami minta dengan sangat kepada bapak untuk membantunya.
Alasan pokok pon-pes ulumul Qur’an ini adalah untuk mentranmisikan ilmu-ilmu al-Qur’an,terlepas dari awal berdirinya,pesantren ulumul-Qur’an miftahul-falah mempunyai peran setrategis dalam kehidupan sosial kemasyarakatan,terutama dalm bidang keagamaan,karena pengajaran agama,pesantren membawa pengaruh agamis yang menghasilkan lingkungan yang khas,disiplin dalam menegakan sholat dan pelaksanaan kewajiban sya’riat lainya.Meski telah terjadi perkembangan yang bervariasi,secara umum pesantren tetap memiliki fungsi sebagai (1) Lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama(tafaquh fi al din) dan nilai nilai islam (Islamic valus) ,(2) lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial(social control) dan lembaga ke agamaan yang melakukan rekayasa sosial(social engineering).
Meski diakui atau tidak pesantren telah banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional,peserta didik yang memiliki ketakwaan dan etika yang baik,tetapi kondisi obyektif pesantren saat ini menunjukan bahwa dalam persepektif pendidikan modern,pendidikan pesantren secara umum masih tertinggal,terutama dalam bidang menegemen,kualifikasi guru, sarana dan prasarana yang lain.Oleh karena itu pesantren masih memerlukan bantuan,terutama dalam bidang yang menjadi kelemahanya,ya’ni dalam sector medianya,yaitu kitab–kitab tafsir,ilmu tafsir,asbabun-nuzul,asbabul-wurud,kamus al-Qur’an serta ilmu –ilmu yang mendukungnya
Oleh karena itu kitab –kitab tafsir sebagai sarana dan prasarana pondok pesantren tentunya tidak bisa di abaikan,apabila kita ingin meningkatakan kualitas pendidikan secara kesuluruhan .Pondok pesantren ulumul-Qur’an miftahul-falah yang berlokasi di desa krajan kulon kecamatan kaliwungu ini saat sekarang sedang mempunyai proyek pendidikan
ulumul-Qur’an .Dalam merealisasikan program tersebut tentunya mempunyai concern terhadap peranan pesantren di era globalisasi ini.

نظم عمريطي

(الحمد لله ) أي محتص أو مستحق أو مملوك فاللام للاختصص أو أوللملك وعلى كل فأل اما للجنس أو للاستغرق أو للعهد فالاحتمالات تسعة قاعمة من ضرب ثلاثة في ثلاثة لكن الاولى جعل اللام للاختصاص أو للاستحصاص وأل للاستحقاق للحنس وانما عدل عن الجملة الفعلية الي الجملة الاسمية لانها تدل على الدوم والاستمرار ووجه العدول أن الاصل حمد الله أي حمدت حمدالله فادخلت أل على المصدر ورفعفصار الحمد لله (الذي قد وفق)بألف الاشاع وقد هنا للتحقيق ويحتمل أنها للتقليل لما اشتهر من ان التوفيق عزيز والتوفيق خلق قدرة الطاعة في العبد وتسهيل سبيل الخير اليه ومن القواعد المقررة أن الموصول وصلته في قوة المستق فكأنه قال الموفق (للعلم) الشرعي كعلم التفسير والخديث ونحو هما (خير)بالنصب على المفعولية وهو افعل تفضيل فأصله أخير حذفت منه الهمزة للتخفيف ونقلت حركة اليأ للساكن قبلها فصار خير (خلقه) أي مخلقه...........
والله اعلم

METODOLOGI TAFSIR KONTEMPORER ( Tafsir sebagai solusi atas problem social )

[ Oleh : M.Ubaidillah Mubarok ]
Berbagai problem kemanusian yang muncul di masyarakat saat ini sangat menuntut adanya solusi yang kongkret. Oleh karena itu sebagai seorang muslim sudah selayaknya kembali kepada Al-Qur’an sebagai sumber solusi bagi seluruh problem kemanusiaan yang sedang terjadi saat ini. METODE TAFSIR KONTEMPORER adalah tawarannya. Metode tafsir kontemporer adalah, metode penafsiran Al-Qur’an yang menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya. Persoalan yang muncul dihadapan dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan yang sesuai dengan problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab yang melatar belakanginya. Adapun problem kemanusiaan yang muncul dihadapan adalah seperti; masalah Kemiskinan, Pengangguran, Kesehatan, Ketidakadilan, Hukum, Ekonomi, Politik, Budaya, Diskriminasi, Sensitifitas Gender, HAM dan masalah ketimpangan yang lain.
Adapun kerangka metodologinya adalah sebagai berikut :
Pertama: Penafsir melakukan sebuah refleksi atas berbagai situasi dan kondisi social yang terjadi saat ini. Hal ini dilakukan guna membangkitkan semangat untuk mengatasi problem kemanusiaan yang sedang terjadi. Setidaknya dalam refleksi ini penafsir menemukan hingga akhirnya dapat merumuskan masalah yang sedang dihadapi dari berbagai sebab yang melatarbelakangi munculnya berbagai persoalan yang terjadi. Problem yang muncul dianalisis dengan menggunakan berbagai pendekatan misalnya antropologis, fenomenologis dan sosiologis. Dan tidak lupa menganalisis masalah social, politik dan ekonomi baik lokal maupun global yang sedang terjadi. Selain itu pada tahapan pertama ini yang harus juga dianalisis adalah masalah Idiologi Besar Dunia yang muncul saat ini, karena peradaban dunia modern saat ini telah menguasai seluruh lapisan masyarakat baik pedesaan maupun perkotaan baik negara-negara kecil berkembag maupun negara-negara besar yang maju dengan adanya sebuah idiologi besar dunia. Dengan demikian teori dan praksis penafsiran dilakukan setelah mengkaji secara komprehensif dari berbagai hal yang terkait dengan pokok permasalahan yang sedang terjadi.

Kedua:Melakukan kajian terhadap al-qur’an. Metode yang digunakan dalam hal ini bisa dengan meminjam teroi Hermeneutika-nya Nasr Hamid. pilihan ini diambil karena tujuan dari teori hermeneutika Nasr Hamid adalah, mencari makna asal dari sebuah ayat atau teks(dalalatul ashliyah)dari teks al-qur’an, serta adanya kirtik idiologi dalam menfsirkan al-qur’an dalam teori tersebut. Selain itu kajian tentang sosio-politik-cultural pada suatu masa dan tempat dimana al-qur’an diturunkan, juga situasi sebelum Nabi Muhammad saw. Lahir, hingga akhirnya diangkat menjadi seorang Nabi sekaligus sebagai Rasul.
Hal ini dilakukan setidaknya agar dapat melihat kembali dengan analisis yang lebih tajam, bagaimana al-qur’an dan kekuatan-kekuatan yang ada di dalamnya baik isi kandungan maupun bahasanya yang telah mampu merubah tatanan social masyarakat Arab-Jahiliah pada saat itu, dan akhirnya penafsir mampu menagkap ide-ide revolusioner dari kandungan al-qur’an. untuk yang terakhir ini tidak mudah, karena adanya statmen al-qur’an itu sendiri: “tidak dapat menyentuh kandungan isi dan petunjuk al-qur’an, kecuali orang-orang yang sangat suci dari berbagai sifat-sifat tercela…” (QS.al-Waqiah: ).

Ketiga : setelah melakukan dua kerangka diatas penafsir dituntut menemukan ide-ide solutif mengenai berbagai problem kemanusiaan yang sedang terjadi. Hal yang harus dilakukan disini adalah : 1- al-qur’an harus dijadikan sebagai idilogi atau nilai dasar dalam penyelesaian seluruh masalah yang sedang terjadi, serta pengungkapan pokok-pokok ajaran moral serta solusi berbagai masalah-masalah social yang ada dalam al-qur’an. Ini dapat dilakukan dengan melihat ayat-ayat menjadi solusi social pada saat itu, atau dengan melihat berbagai kisah-kisah ummat terdahulu yang terdapat dalam al-qur’an. 2- Metode Qur’aniy, dalam berbagai kasus serta cara penyelesaiannya haruslah didahulukan, sebelum menggunakan metode yang lainnya dalam rangka pengaplikasian sebuah teori yang diambil dari kandungan al-qur’an secara eksplisit maupun emplisit. Ini dapat dilakukan dengan mengkaji ilmu tentang Munasabatul-Ayat hingga akhirnya dapat merumuskan berbagai strategi perubahan untuk menjawab berbagai problem kemanusiaan yang sedang dihadapi. 3- Setelah itu diteruskan dengan mengkaji secara komprehensif mengenai sosok Nabi Muhammad saw. karena nabi, dalam hal ini adalah sebagai seorang yang mendemonstrasikan isi kandungan al-qur’an yang telah berhasil melakukan suatu perubahan yang besar dalam sejarah dunia dan mengatasi serta memberi solusi pada masyarakat Arab atas berbagai persoalan social ekonomi dan budaya yang terjadi pada saat itu. 4- Selanjutnya harus dilakukan aksi-aksi (kongkret) dilapangan untuk memecahkan problem itu sendiri, karena saat ini yang lebih di harapkan oleh masyarakat adalah wujud solusi kongkret bukan sekedar tatanan ide yang ada dalam alam pikiran saja, hal ini dilandasi dengan posisi Nabi Muhammad saw. Pada saat al-qur’an diturunkan, peran beliau bukan hanya sebagai penyampai atau penafsir wahyu ilahi kepada manusia saja, melainkan juga dituntut untuk melakukan berbagai tindakan yang telah diungkapkan secara teoritis oleh al-qur’an . Disinilah titik tekan metode tafsir kontemporer dimana aksi-aksi serta gerakan perubahan social sebagai suatu keniscayaan.
Dengan mengkaji serta menganalisis tiga kerangka metodologi tafsir kontemporer yang diharapkan dapat menemukan rumusan strategis yang siap untuk dijadikan sebagai solusi atas berbagai problem social-ekonomi dan politik kemasyarakatan, bukan hal mustahil akan adanya sebuah tatanan masyarakat yang damai, sejahtera, subur makmur gemah ripah loh jinawi dan tentunya Baldatun Toyyibatun Wa Robbun Ghofur. Amin

Sosiologi Agama

PENDAHULUAN
Beberapa kejadian dimasyarakat sangat erat hubungannya dengan agama. Baik itu berupa ritual ke-agamaan tindakan social atau bahkan konflik antar kelompok (agama) tertentu. Hal ini memang oleh agama tertentu sangatlah dianjurkan salah satu semboyannya adalah: agama tidak hanya mengatur masalah-masalah ritual keagamaan saja (penyembahan,hubungan manusia dengan tuhannya )akan tetapi agama juga mengatur hubungan manusia dengan masalah-masalah social, kebudayaan yang telah ada disekitar lingkungannya. Gambaran diatas adalah merupakan fakta social yang coba diteliti oleh para ahli sosiologi dan pada akhirnya melahirkan sebuah disiplin keilmuan tersendiri berupa Sosiologi Agama.

PEMBAHASAN
A. Agama
Pengertian agama menurut Hendropuspito adalah: suatu jenis system social yang yang dibuat oleh para penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas umumnya. Dalam kamus sosiologi pengertian agama ada tiga macam (1) kepercayaan pada hal-ahal yang spiritual. (2) perangkat kepercayaan dan praktek-praktek spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri. (3) ideologi yang bersifat supra natural.
Beberapa definisi diatas menggambarkan bahwa agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran para penganutnya ketika terjadi hal-hal yang diluar jangkauan dan kemampuannya karena sifatnya yang supra-natural sehingga diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yang non-empiris.

B. Fungsi Agama
Fungsi dari agama itu sendiri adalah berupa peran agama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dimasyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh karena itu diharapkan agama menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa sejahtera, aman, tentram, stabil dan lain sebagainya. Mnenurut Thomas F. O’Dea ada enam macam fungsi agama yaitu: 1)sebagai pendukung, pelipur lara dan perekonsiliasi, 2) sarana hubungan transcendental melalui pemujaan dan upacara peribadatan. 3) sebagai penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada. 4) pengoreksi fungsi yang sudah ada. 5) pemberi identitas diri. 6) pendewasaan agama . sedangkan menurut hendropuspito fungsi agama adalah sebagai pendidikan(education), penyelamatan( ), pengawasan social (social controlling) dan perubahan (tranformation).

C. SOSIOLOGI AGAMA
a. Pengertian
Menurut pandangan para sosiolog, agama yang terwujud dalam kehidupan masyarakat adalah fakta social. Sebagai fakta social agama dipelajari oleh sosiolog dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Disiplin ilmu yang digunakan oleh sosiolog dalam mempelajari masyarakat beragama adalah disebut Sosiologi Agama. Definisi tentang sosiologi agama menurut hendropuspito adalah sebagai berikut: sosiologi agama ialah suatu cabang dari sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah yang pasti demi kepentingan masyarakat agama sendiri dan masyarakat luas pada umumnya
b. Metode
Metode yang dipakai oleh sosiolog dalam meneliti agama adalah dengan menggunakan dua pendekatan ; 1)pendekatan teologis, 2) pendekatan keilmuan. 1-pendekatan teologis ,yaitu pendekatan kewahyuan atau keyakinan, Pendekatan ini biasanya dilakukan untuk kepentingan agama yang diyakini sipeneliti sendiri oleh karena itu sangat subyektif dan sarat dengan kepentingan. Jenis penelitian seperti ini biasanya dilakukan oleh para ulama’, pendeta dan para rahib. 2-pendekatan keilmuan, yaitu pendekatan yang memakai metodologi ilmiah, memakai aturan-aturan yang lazim dalam penelitian keilmuan. Pendekatan ini memakai metodologi tertentu yang diakui kebenarannya oleh dunia keilmuan, sistematis cara kerjanya, empiris, diambil dari dunia nyata bukan dari pemikiran atau angan-angan dan obyekti sesuai dengan fakta. karena sasaran ideal dari sosiologi agama adalah memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta agama, maka metode ilmiah berkehendak mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan kesangsian sistematis.

Selanjutnya ada dua bidang keilmuan yang dipakai dalam penelitian agama; Pertama,ilmu budaya, bidang ini menekankan pada pencarian informasi substansial objek penelitian. Subyek yang diteliti oleh ilmu budaya adalah segala hasil pemikiran manusia, baik yang tercatat dalam buku-buku atau yang tidak. Adapun bidang-bidan pengetahuan keahlian (disiplin) utama yang didasarkan atas penelitian budaya adalah: filsafat, ilmu agama, teologi, hukum, kesenian, sejarah, filologi dan kesusastraan.
Kedua, bidang ilmu social, bidang ilmu ini adalah penelitian ilmiah yang mempunyai aturan-aturan yang lazim yang harus diikuti oleh setiap peneliti. Yang menjadi obyek penelitian agama dengan memakai pendekatan ilmu social ini adalah keteraturan-keteraturan yang terdapat dalam masyarakat pemeluk agama, yang merupakan proses terjadinya interaksi diantara anggota masyarakat, atau antara kelompok dalam suatu masyarakat beragama dengan masyarakat beragama yang lain Sebelum penelitian, harus dirumuskan terlebih dahulu metodologi apa yang akan digunakan dalam penelitian suatu subyek penelitian. Langkah penentuan masalah, pencarian konsep-konsep, perumusan hipotesis, pencarian data kelapangan serta kesimpulan yang diambil merupakan beberapa rangkaian system yang harus dilalui.
Sedangkan pendekatan yang dipakai untuk penelitian suatu agama dalam bidang ilmu social adalah bermacam-macam;
Pendekatan Sosiologis; yaitu pendekatan tentang interelasi agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi diantara mereka, menurut pendekatan sosiologi bahwa dorongan, gagasan dan lembaga agama adalah mempengaruhi. juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan social organisasi dan setratifikasi social. Tokoh yang pernah melakukan penelitian agama dengan menggunakan pendekatan ini adalah Emile Durkheim.
Pendekatan Antropologis: yaitu pendekatan kebudayaan; artinya agama dipandang sebagai bagian dari kebudayaan baik wujud ide maupun gagasan dianggap sebagai system norma dan nilai yang dimiliki oleh anggota masyarakat, yang mengikat seluruh anggota masyarakat. System budaya agama itu memberikan pola kepada seluruh tingkah laku anggota masyarakat, dan melahirkan hasil karya keagamaan yang berupa karya fisik, dari bangunan tempat ibadah seperti masjid, gereja, pura dan kelenteng, sampai alat upacara yang sangat sederhana seperti tasbih, hioh atau kancing baju dan lain-lain. Tokoh yang pernah meneliti agama dengan menggunakan pendekatan ini adalah seperti Max Muller dan E.B.Tylor.
Pendekatan Psikologis: yaitu studi ilmiah mengenai agama ditinjau dari prepektif psikologis. Wilayah kajian utama yang menjadi bahan pendekatan ini adalah pengalaman religius dari kelompok individu atau social. Para peneliti mencari makna agama dalam setting psikologis, yaitu bagaimana keadaan hati manusia beragama yang terefleksikan kedalam tingkah laku keagamaan ataupun non-keagamaan. Tokoh yang pernah meneliti agama dengan menggunakan pendekatan ini adalah seperti Sigmund freud.
Pendekatan Historis: atau kesejarahan. Pendekatan ini menganut pandangan bahwa suatu fenomena religius bisa dipahami dengan mencoba menganalisis perkembangan segi historisnya. Dengan memperhatikan perkembangan prinsip-prinsip umum dari tingkah laku religius dan menghubungkan dengan kejadian-kejadian khusus dan tertentu, muncullah pola-pola kejadian yang menghasilkan prinsip-prinsip umum dari kejadian tadi.
Sejarah atau perjalanan hidup suatu agama disuatu daerah banyak meninggalkan beberapa barang-barang suci seperti sekumpulan teks-teks suci dan artefak(peninggalan benda-benda padat) yang berkaitan dengan keberadaan agama tersebut dengan metode sejarah, benda-benda tadi dapat diketahui arti dan maknanya, mengapa dan bagaimana keduanya saling berkaitan dengan latar belakag ajaran agama dan budaya yang melahirkannya.
Dalam melakukan analisis sejarah itu, peneliti harus memakai kacamata(frame of reference) orang-orang beragama, karena dengan bahasa itulah teks dana artefak dapat dipahami artinya sehingga dicapai pengertian yang berkaitan dengan asal-usul, pertumbuhan, perkembangan dan penyebaran agama-agama. Wilhelm Schmidt (1868-1954) adalah tokoh yang telah melakukan penelitian agama dengan menggunakan pendekatan kultu-historis Pendekatan fenomenologi: yaitu pendekatan yang menggunakan perbandingan sebagai sarana interpretasi yang utama untuk memahami arti dari ekspresi-ekspresi keagamaan, seperti persembahan, upacara keagamaan, makhluk ghaib dan lain-lain. Asumsi dasar dari pendekatan ini bahwa bentuk luar dari ungkapan manusia mempunyai pola atau konfigurasi kehidupan yang teratur yang dapat dilukiskan kerangkanya dengan menggunakan metode fenomenologi. pendekatan ini mencoba menemukan struktur yang mendasari fakta keagamaan dan memahami makna yang lebih dalam. Bidang studinya meliputi fakta religius yang bersifat subyektif, seperti pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan maksud-maksud dari seseorang yang di ungkapkan dalam tindakan-tindakan luar. Pemahaman beberapa ungkapan yang bersifat subyektif inilah yang membuat fakta menjadi suatu tindakan ibadah bukan sekedar gerakan-gerakan tanpa makna. Tujuan dari metode ini adalah menangkap apa makna lebih dalam dan intensonalitas dari data religius orang lain yang merupakan ekspresi-ekspresi dari pengalaman religius dan imannya yang lebih dalam. Metode ini mengungkap wilayah spiritual dan intelektual manusia.
c. Wilayah kajian Sosiologi Agama
Wilayah kajian sosiologi agama adalah wilayah atau lingkup wawasan agama yang bisa diteliti dengan metode ilmiah (scientific method); meliputi berbagai persoalan dan berbagai segi dalam kehidupan umat beragama .

KESIMPULAN
Para ahli sosiologi agama memandang agama sebagai suatu pengertian yang luas dan universal dari sudut pandangan sosiologis, bukan dari sudut pandang individual. Hal ini berarti sosiologi agama tidak hanya membicarakan suatu agama yang dianut oleh golongan tertentu, tapi semua agama dan disemua daerah di dunia tanpa memihak dan memilah-milah. Pengkajiannya bukan diarahkan dari bagaimana cara seseorang beragama, melainkan diarahkan kepada kehidupan agama dalam mengembangkan atau menghambat kelangsungan hidup dan pemeliharaan kelompok-kelompok masyarakat dan kepada peranan yang dimainkannya selama berabad-abad hingga sekarang.

PENUTUP

Demikian tadi makalah dari kami dan tentunya masih banyak kekurangan dan sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik yang konstruktif sangatlah kami harapkan demi kesempurnaan makalah tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
Khamad,Dadang, Dr.H Sosiologi Agama, Rosda Karya Bandung 2002
Hendropuspito, Sosiolog Agama, Karnisius, Yogjakarta 1998
Sukanto,Suryono, Kamus Sosiologi, PT.Raja Grafindo Persada Jakrarta 1993

Ramalan Ronggowarsito

amenangi jaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.

yang terjemahannya sebagai berikut:

menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.

Syair di atas menurut analisis seorang penulis bernama Ki Sumidi Adisasmito adalah ungkapan kekesalan hati pada masa pemerintahan Pakubuwono IX yang dikelilingi para penjilat yang gemar mencari keuntungan pribadi. Syair tersebut masih relevan hingga zaman modern ini di mana banyak dijumpai para pejabat yang suka mencari keutungan pribadi tanpa memedulikan kerugian pihak lain

PMII

ada dan tiada itu biasa